Kali ini tim Belajar Fiqih akan menjelaskan tentang syarat wajib puasa Safinah. Bagi sobat yang punya kitab Safinatun Najah silakan buka di halaman 116. Adapun syarat-syarat wajib puasa yakni puasa Romadhon, maka ada lima perkara yaitu :
Islam
Maksudnya harus beragama Islam walaupun Islamnya itu sudah lewat, sehingga wajib puasa bagi orang yang murtad karena dia termasuk yang diperintahkan untuk melaksanakan puasa seperti halnya seorang muslim.
Taklif
Taklif di sini maksudnya adalah sudah baligh dan juga berakal. Maka tidak wajib berpuasa kepada anak kecil, orang gila, orang yang pingsan dan juga orang yang mabuk.
Adapun untuk masalah Qadha puasa, maka wajib kepada orang yang mabuk yang mabuknya melampaui batas, juga wajib kepada orang yang pingsan secara mutlak, baik hanya pingsan-pingsanan atau pingsan beneran.
Tetapi bagi mereka yang melakukan pingsan pingsanan maka wajib menyegerakan qodho, sedangkan bagi mereka yang pingsan beneran maka boleh memilih tidak harus segera mengqadha.
Hal ini berbeda dengan salat karena tidak wajib mengqadha salat bagi mereka yang pingsan kecuali kalau memang dia pingsan pingsanan. Begitu juga wajib mengqadha bagi orang yang gila-gilaan
Kuat
Maksudnya kuat puasa, sehingga tidak wajib puasa bagi orang yang tidak kuat karena sudah tua atau sakit yang sakit tersebut membolehkan bersuci dengan tayamum.
Sehat
Maka tidak wajib berpuasa kepada mereka yang sakit. Di dalam kitab Syarah Minhaj dikatakan bahwa, dibolehkan untuk meninggalkan puasa dengan niat rukhsah karena sakit yang sakit tersebut bisa membuat madhorot apabila dia berpuasa dengan madarat berupa sakit yang bisa menyebabkan dia bisa bersuci dengan tayamum.
Kemudian jika berpuasa lalu dia sakit, maka jika sakitnya terus-menerus, maka boleh bagi dia untuk tidak berpuasa. Kalau sakitnya tidak terus-menerus atau sebentar sebentar, jika sekiranya nanti ada waktu yang bisa digunakan untuk mengqadhanya maka boleh untuk tidak berpuasa.
Jika sekiranya nanti tidak ada waktu yang bisa digunakan untuk mengkodonya, maka jika dengan berpuasa penyakitnya akan kembali dan dia membutuhkan untuk berbuka, maka boleh berbuka.
Mukim
Maka dibolehkan meninggalkan puasa karena perjalanan yang lama dengan niat rukhsah. Maka ketika terjadi Madorot dengan perjalanan itu, maka buka lebih utama, tetapi jika tidak ada madhorot maka puasa lebih utama.
Imam Ziyadi berkata, hal itu harus memenuhi apa yang disyaratkan dalam salat musafir yakni musafirnya sebelum fajar. Maka jika niat di malam hari kemudian dia melakukan perjalanan dan merasa ragu apakah perjalanan itu dilakukan sebelum fajar atau sesudah Fajar, maka dia tidak boleh berbuka.
Dikecualikan juga bagi mereka yang berpuasa, tidak boleh berbuka apabila selalu melakukan perjalanan secara terus-menerus. Maka dia tidak boleh berbuka, sebab kalau berbuka semua tentu saja akan menggugurkan semua kewajiban.
Dibolehkannya berbuka Ini bagi mereka yang diharapkan bisa mengkodonya pada waktu mukim. Demikian seperti yang diutarakan oleh Imam As Subki dan juga Syekh Ramli.