Bahwa rukun puasa, baik itu puasa wajib maupun puasa sunat, dalam kitab ini semuanya ada 3, dan ini pendapat yang masyhur, walaupun ada yang menyatakan jumlahnya 4 dalam Kitab Al Anwar. Sementara untuk yang mengatakan rukun puasa ada 2, tidak memasukan orang yang berpuasa sebagai rukun. Penjelasannya ada di akhir artikel ini.
Niat di waktu malam tiap hari untuk sholat fardu
Tempatnya niat adalah di dalam hati. Pada waktu niat, mestilah menggambarkan hakikat puasa dalam hati yakni menahan diri dari hal yang membatalkan puasa di waktu siang di bulan Ramadhan. Maka tidak cukuplah berniat dengan menggunakan lisan saja, tanpa berniat dalam hati, walaupun memang berniat dengan lisan adalah sunat untuk membantu niatnya hati.
Karena yang diperhitungkan adalah niat di dalam hati, maka seumpamanya kita sedang sholat sambil mendengar bacaan imam, lalu malah niat puasa saat sholat itu dengan hati (berarti sholatnya tak khusyu), maka sahlah niat puasanya.
Imam Ziyadi berkata bahwa jika seseorang berniat di malam pertama Ramadhan dengan niat puasa untuk sebulan penuh, maka itu tidak mencukupi, menurut mazhab Syafi'i. Adapun menurut mazhab Maliki hal itu diharuskan untuk menjaga ketika seseorang lupa tidak melakukan niat di malam hari. Pendapat ini senada juga dengan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa disunatkan berniat di awal siang jika dia lupa.
Namun dalam hal ini sudah jelas bahwa dibolehkannya berniat untuk sebulan itu bagi mereka yang bermazhab kepada Maliki, adapun bagi yang bermazhab Syafi'i, maka tetaplah berpegang teguh pada mazhabnya, jika sekiranya belum mempunyai ilmu untuk bertaqlid pada mazhab yang lain sebab jika dicampuradukkan maka ibadahnya akan rusak.
Jika seseorang ragu-ragu apakah niatnya itu sebelum fajar atau sesudah fajar, maka tidak sah niatnya, sebab asalnya adalah dianggap belum ada atau belum berniat.
Niat yang dilakukan malam ini adalah jika puasanya puasa fardu. Jika puasanya sunat, maka boleh berniat di awal siang selama belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, jima, kufur, haid, nifas, gila. Jika sudah melakukan itu, maka tidak sah puasanya.
Di dalam Kitab Minhaj diterangkan bahwa Nabi apabila di rumahnya tidak ada makanan, maka beliau akan langsung berpuasa sunat dan apabila ada makanan, maka beliau berbuka atau tidak berpuasa.
Imam Ramli berkata, jika di pagi hari belum berniat puasa sunat, lalu berkumur namun tidak terlalu kuat berkumurnya, tapi ada air yang masuk, lalu dia berniat puasa sunat, maka sah puasanya. Begitu juga jika kita dipaksa makan atau dipaksa minum karena diancam penjahat, terus kita berniat puasa sunat, maka sah puasanya. Begitu juga jika kemasukan air tanpa sengaja ketika sedang membersihkan najis, maka hal itu tidak masalah jika akan dilanjutkan dengan berniat puasa sunat.
Yang dimaksud puasa fardu di sini adalah puasa Ramadhan, puasa nadzar, puasa qadha, puasa kifarat, puasa anak kecil dan puasa yang diperintah oleh umaro misalnya puasa istisqa. Jadi puasa sunat tidak diharuskan niat di mlam hari kecuali puasanya anak kecil untuk pembelajaran.
Yang dimaksud malam adalah melakukan niatnya di antara waktu setelah maghrib dan sebelum fajar subuh. Diluar waktu tersebut, maka niat puasa wajibnya tidak sah.
Adapun lafadz niat puasa paling pendek adalah NAWAITU SHOUMA GHODAN MIN RAMADHAANA, Aku berniat puasa besok dari sebagaian Ramadhan. Harus menyertakan MIN RAMADHAAN, sebab kata itu adalah menunjukkan ta'yin bahwa yang dilakukan adalah puasa fardu. Adapun lafadz GHODAN, maka itu menunjukkan bahwa niat kita dilakukan pada malam hari.
Tidak wajib menyertakan lafadz fardhiyyah dan adaa dan juga menyertakan lafadz Allah pada waktu niat. Begitu juga tidak masalah tidak menyertakan lafadz sunnat pada niat puasa sunat. Jika kita salah ucap, misalnya menyatakan puasa wajib padahal kita sedang puasa suat, maka itu sah saja selama tak sengaja atau tidak tahu.
Adapun bacaan niat paling sempurna adalah NAWAITU SHOUMA GHODIN 'AN ADAA-I FARDHI ROMADHOONA HAADZHIHIS SANATI IIMANAAN WAHTISAABAN BILLAAHI TA'AALAA. Aku berniat puasa besok hari, untuk puasa fardu Ramadan di tahun ini, dengan rasa iman dan mengharapkan keridoan dari Allah Ta'aala.
Bahkan jikas seseorang melakukan sahur karena akan puasa, atau minum untuk menolak haus, atau mencegah makan, minum, jima, karena takut keluar fajar, maka itu sama saja dengan niat jika memang hatinya memaksudkan berpuasa berdasarkan semua yang dilakukan dari syariat tersebut.
Meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa
Maksudnya, rukun puasa yang kedua adalah meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa seperti :
- masuknya benda ke lubang yang terbuka dari perut, contoh mengkonsumsi makanan meskipun sedikit, seperti satu biji dan setetes air,
- memasukkan sesuatu ke dalam mulut dan lubang lain, seperti; memasukkan kayu ke dalam telinga atau luka,
- sengaja muntah, karena sabda Rasulullah shollallahu SAW bersabda, “Barang siapa tidak tahan muntah, (artinya memang harus muntah), padahal ia adalah orang yang berpuasa, maka tidak ada kewajiban atasnya untuk mengqodho. Dan barang siapa sengaja muntah maka wajib atasnya mengqodho.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hiban dan lainnya
- masuknya seluruh hasyafah atau kira-kiranya bagi orang yang tidak memilikinya ke dalam faraj. Oleh karena itu, puasa tidak batal sebab memasukkan hanya sebagian hasyafah dengan dinisbatkan pada pihak yang menjimak. Adapun pihak yang maka puasanya batal sebab kemasukan sebagian hasyafah tersebut, karena batalnya dilihat dari segi disebabkan oleh masuknya benda ke lubang farajinya. Jadi, kebatalan puasa dari yang dijima adalah dari sisi sebab masuknya benda ke dalam lubangnya, bukan dari sisi sebab jimak.
- mengeluarkan air money sebab menyentuh kulit
dengan disertai syahwat, seperti jimak yang tanpa mengeluarkan air money, bahkan jimak semacam ini malah lebih utama dalam membatalkan puasa karena mengeluarkan air money adalah tujuan dari jimak. Puasa tidak batal sebab mengeluarkan air money dalam kondisi tidur, melihat por
osotnonghol, membayangkan mesum, menyentuh tanpa disertai syahwat, atau mendempetkan tubuh perempuan ke tubuhnya dengan disertai adanya penghalang.
Syarat puasa yang menjadi batal sebab perkara-perkara di atas adalah sekiranya orang yang berpuasa ingat kalau dirinya sedang berpuasa, tidak dipaksa, dan tidak bodoh yang diudzurkan. Oleh karena itu, orang yang berpuasa, puasanya menjadi batal sebab melakukan salah satu dari perkara-perkara di atas ketika ia melakukannya secara sengaja, tidak dipaksa, dan tahu akan keharamannya, atau ia adalah bodoh tetapi bodoh yang tidak diudzurkan.
Berbeda dengan orang yang berpuasa yang melakukan salah satu dari perkara-perkara di atas disertai lupa, dipaksa, atau bodoh yang diudzurkan, misal; ia baru masuk Islam atau hidup jauh dari para ulama, atau memang harus muntah dan tidak kuat menahannya.
Jadi, sengaja muntah merupakan sesuatu yang dapat membatalkan puasa meskipun diketahui bahwa tidak ada sisa muntahan yang kembali masuk ke dalam perutnya, karena sengaja muntah itu merupakan sesuatu yang membatalkan puasa sendiri, bukan karena kembalinya sisa muntahan ke dalam perut.
Orang yang berpuasa
Rukun puasa yang ketiga adalah orang yang berpuasa atau shoim. Suwaifi berkata, “Alasan menghitung shoim sebagai salah satu dari rukun-rukun puasa adalah karena tidak adanya bentuk nyata dari puasa itu sendiri, seperti dalam bab baik (jual beli) yang tidak memiliki bentuk nyata sehingga menghitung penjual dan pembeli sebagai rukun tersendiri.
Berbeda dengan sholat,” karena sholat memiliki bentuk secara nyata yang memungkinkan untuk dibayangkan dan dideskripsikan tanpa membayangkan musholli sehingga musholli tidak dihitung sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun sholat.