Sejarah perkembangan ilmu fiqih dibagi menjadi beberapa periode yaitu :
- Periode Nabi Muhammad SAW
- Periode Khulafaur Raasydiin
- Periode Pertumbuhan
- Periode Keemasan
- Periode Takhrij
- Periode Kemunduran
Periode Nabi Muhammad
Periode ini dimulai dari penunjukan Nabi Muhammad (SAW) sebagai Nabi dan Rasul sampai beliau wafat. Periode ini sangat singkat, hanya sekitar 22 tahun beberapa bulan. Namun, pengaruh periode ini sangat besar pada pengembangan ilmu fiqih.
Rasulullah adalah orang yang mewariskan sejumlah teks hukum baik dari Al-Qur'an atau As-Sunnah, dalam bentuk prinsip-prinsip hukum baik yang ditulis dalam argumen Kulli dan yang tersirat dari Al-Qur'an dan Sunnah. Periode ini disebut 'Ahdu insha' dan takwin.
Periode Nabi dibagi menjadi dua periode, yakni periode Mekah dan Madinah. Periode Mekah berlangsung selama 13 tahun dan Madinah selama 10 tahun. Pada fase Makah fokusnya adalah pada penanaman aqidah, karena Aqidah adalah fondasi kehidupan.
Pada saat ini Nabi memulai dengan dakwahnya dengan mengubah kepercayaan komunitas jahiliyyah di Mekah yang sebelumnya menyembah berhala menjadi komunitas yang bertauhid kepada Allah, membersihkan hati, dan menghias diri mereka dengan akhlaq baik.
Periode Makah dimulai dengan penunjukan Nabi Muhammad (SAW) sebagai Rasul sampai ia beremigrasi ke Madinah dalam waktu kurang dari 12 tahun. Madinah adalah tanah air bagi umat Islam. Umat Islam berlipat ganda jumlahnya dan membentuk masyarakat Muslim yang menghadapi masalah baru yang membutuhkan regulasi, baik hubungan antara individu Muslim dan dalam hubungan dengan kelompok lain di komunitas Madinah, seperti kelompok Yahudi dan Kristen.
Karena itu, Madinah diharuskan ada hukum yang mencakup seluruh bidang fiqih. Sumber hukum pada zaman Nabi adalah:
Al-Qur'an
Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi tidak sekaligus. Al-Qur'an turun sesuai dengan peristiwa-peristiwa tertentu dan menjelaskan hukum-hukumnya. Di antara wahyu yang turun adalah ayat-ayat hukum yang mencakup masalah seputar ibadah, mu'amalah, hukum ahwalus syakhsiyyah, dan sebagainya.
As-Sunnah
As-Sunnah berfungsi untuk menjelaskan hukum yang telah ditegaskan dalam Al Quran. Seperti sholat yang dijelaskan dalam tata cara sunnahnya. Selain itu, Sunnah juga merupakan penguat untuk hukum yang telah ditetapkan dalam Al Quran.
Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam tindakannya, dalam keputusannya ketika menyelesaikan suatu kasus, atau karena itu menjawab pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya.
Ijtihad
Selama masa Nabi, ternyata ijtihad telah dilakukan oleh Nabi dan shabatnya. Meskipun, ijtihad selama masa Rasul tidak seluas setelah beliau wafat, karena, banyak masalah yang diminta kepada Nabi dan segera dijawab dan diselesaikan oleh Nabi sendiri.
Selain itu, ijtihad sabahatpun jika salah, maka Nabi mengembalikannya pada hal yang benar. Rasulullah SAW mendorong sahabatnya untuk beremigrasijtiha. Hal ini terbukti dengan cara Nabi yang sering bermusyawarah dengan teman-temansahabatnya dan juga pada saat pengiriman Mu'adz bin Jabal yang dikirim ke Yaman.
Periode Al-Khulafaur Rashidin
Periode ini dimulai dari 11 Hijriyah dan berakhir pada abad pertama Hijriah. Dinamakan masa sahabat karena tasyri 'ahkam dipegang oleh seorang sahabat Nabi. Sumber hukum dalam periode ini adalah Al Quran, Sunnah, dan Ijtihad para Sahabat.
Selama periode ini para sahabat berusaha untuk mengumpulkan Al Quran dalam satu Manuskrip. Ide ini datang dari Abu Bakar karena banyak huffadz yang mati syahid di medan perang dalam memerangi para murtad.
Abu Bakar menyuruh Zaid untuk mengumpulkan Al Quran yang masih berserakan di pelepah kurma, di tulang, juga tertulis di atas batu agar menjadi koleksi Al Quran.
Setelah Abu Bakar wafat, Qur'an dijaga oleh khalifah sesudahnya, yaitu Umar bin Khattab. Dan setelah Umar bin Khattab wafat, Mushaf dijaga oleh Ummul Mukminin Hafshah, binti Umar. Pada zaman Utsman bin Affan, penerus ketiga bagi Umar bin Khattab, naskah-naskah itu direproduksi dan didistribusikan ke wilayah-wilayah Islam yang ditaklukkan, dan sampai saat ini kita berada.
Al Quran ditempatkan di masjid umum sehingga umat Islam bisa menghafalnya. Dan manuskrip ini diberi nama Mushaf Utsmani. Sumber hukum kedua dalam periode ini adalah As-Sunnah. Namun, hadits belum dikumpulkan dalam satu Manuskrip. Akibatnya, perbedaan pendapat muncul karena ada perbedaan dalam menghadapi hadits.
Yang ketiga adalah ijtihad sahabat. Adapun cara jihad para sahabat adalah pencarian teks-teks dalam Al Quran, jika tidak ada maka dengan Sunnah, dan jika mereka masih tidak menemukannya, mereka terlibat dalam musyawarah di antara para sahabat.
Khalifah Umar bin Khattab memiliki dua metode musyawarah, yaitu musyawarah bersifat umum dan spesifik. Diskusi khusus terdiri dari sahabat Muhajirin dan Ansar tentang masalah-masalah pemerintah. Sementara masalah umum dihadiri oleh semua warga Madinah yaitu jika ada masalah penting.
Selain itu, periode ini dimulai dengan metode mengambil hukum dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, ketentuan hukum yang tidak memiliki ketentuan dalam dua sumber utama, yang kemudian berkembang menjadi, ijma ', qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab, 'urf, dan sebagainya.
Periode Awal Pertumbuhan Fiqh
Periode ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 hingga awal abad ke-2. Periode ini adalah titik awal untuk pertumbuhan fiqh sebagai disiplin ilmu dalam Islam. Dengan berhamburannya para sahabat ke berbagai daerah sejak zaman Al-Khulafaur Rashidin (terutama sejak Uthman Bin Affan menduduki posisi Khalifah, 33 H / 644 M), maka muncul berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Di Irak, Ibn Mas'ud muncul sebagai ahli hukum yang menjawab berbagai masalah hukum. Dalam hal ini, sistem sosial masyarakat Irak sangat berbeda dari sistem Hijaz (Mekah dan Madinah). Pada saat itu, telah terjadi pembaruan etnis Arab di Irak dengan Persia, sementara orang-orang di Hijaz lebih homogen.
Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibn Mas'ud mengikuti pola yang diadopsi oleh Ummar bin Al-Khattab, yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat tanpa terlalu terikat pada makna literal dari teks-teks suci.
Atas dasar ini, penggunaan akal (analisis) dalam jijtihad lebih dominan daripada perkembangan ini muncul aliran madrasah atau ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi).
Sementara itu, di Madinah, Zaid bin Sabit (11 SH / 611 M-45 H / 665 M) dan Abdullah bin umar bin Al-Khattab (ibn Umar) bertindak untuk menjawab masalah hukum yang muncul di daerah tersebut. Sementara di Mekah, yang bertindak untuk menjawab berbagai masalah hukum adalah Abdullah bin Abbas (ibn abbas) dan sahabat lainnya.
Pola dalam menjawab masalah hukum oleh fuqaha Medina dan Mekah adalah sama, yaitu berpegang teguh pada Al Quran dan Hadits Nabi SAW. Ini dimungkinkan karena di kedua kota ini wahyu Allah dan sunnah Rasulullah SAW turun, sehingga sahabat yang berada di kedua kota itu memiliki banyak hadits.
Akibatnya, mazhab fiqih terbentuk mengikuti nama-nama thabi'in, termasuk fiqh Al-auza'I, fiqh An-Nakha'I, fiqh Al-qamah bin Qais, dan fiqh Sufyan As-Sauri.
Periode emas
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 hingga pertengahan abad ke-4 H. Pada periode peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode pertama kemajuan Islam (700-1000). Ciri khas periode ini adalah semangat tinggi ijtihad di kalangan ulama, sehingga berbagai gagasan tentang sains dengan perkembangan ini tidak hanya di bidang ibi tapi pada bidang lainnya.
Dinasti abbasiyah (132 H / 750 M-656 H / 1258 M) yang naik ke tahap pemerintahan menggantikan dinasti Umayyah memiliki tradisi ilmiah yang kuat, sehingga perhatian para penguasa abbasiyah di berbagai bidang ilmu sangat besar.
Penguasa awal dinasti abbasiyah sangat mendorong para ahli hukum untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh untuk menangani masalah sosial yang semakin kompleks. Perhatian pihak berwenang abbasiyah pada fiqh, misalnya, dapat dilihat ketika khalifah Harun ar-Rashid (berkuasa 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar dua anaknya, Al-Amin dan Al-Ma'mmun.
Selain itu, Khalifah Harun Ar-Rashid meminta Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, pemerintahan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah dengan menyusun buku berjudul Al-Kharaj.
Ketika Abu Jabar Al-Mansyur (memerintah 754-775) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis buku hukum yang akan menjadi pegangan resmi pemerintah dan lembaga-lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul Al-Muwaththa '(yang disepakati).
Di awal periode emas ini konflik antara ahlulhadist dan ahlurra'yi sangat tajam, sehingga memunculkan semangat ijtihad untuk setiap sekte. Semangat para ahli hukum melakukan ijtihad pada periode ini juga mendahului munculnya mazhab fiqh yaitu sekolah Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.
Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk kebutuhan praktis periode itu, tetapi juga membahas masalah yang mungkin terjadi yang dikenal sebagai fiqh taqdiri (hipotesis fiqh). Kontradiksi antara kedua sekte ini hanya mereda setelah para siswa ahlurra'yi mencoba membatasi, mensistematisasikan, dan menyusun aturan ra'yu yang dapat digunakan untuk menahan hukum.
Atas dasar upaya ini, ahlulhadist dapat memahami makna ra'yi, dan pada saat yang sama menerima ra'yu sebagai salah satu cara untuk mengistimbat hukum.
Periode Tahrir, Takhrij dan Tarjih
Dimulai dari pertengahan abad ke-4 hingga pertengahan abad ke-7 H. Tahrir, Takhrij, dan Tarjih adalah upaya masing-masing mazhab untuk mengomentari, menjelaskan, dan mengulas pendapat para imam mazhab.
Pada periode ini hampir tidak ada mujtahid independen, jadi fanatik buta mulai muncul. Ada juga pernyataan bahwa pintu ijtihad sudah ditutup karena:
Periode Penurunan Fiqh
Dimulai pada pertengahan abad ke-7 H hingga munculnya Al-Ahkam al 'Addliyyah (hukum sipil kekaisaran Turki Ottoman) pada 26 Syaban 1293 H. Ada tiga hal yang menonjol pada periode ini.
Sumber :
- Periode Nabi Muhammad SAW
- Periode Khulafaur Raasydiin
- Periode Pertumbuhan
- Periode Keemasan
- Periode Takhrij
- Periode Kemunduran
Periode Nabi Muhammad
Periode ini dimulai dari penunjukan Nabi Muhammad (SAW) sebagai Nabi dan Rasul sampai beliau wafat. Periode ini sangat singkat, hanya sekitar 22 tahun beberapa bulan. Namun, pengaruh periode ini sangat besar pada pengembangan ilmu fiqih.
Rasulullah adalah orang yang mewariskan sejumlah teks hukum baik dari Al-Qur'an atau As-Sunnah, dalam bentuk prinsip-prinsip hukum baik yang ditulis dalam argumen Kulli dan yang tersirat dari Al-Qur'an dan Sunnah. Periode ini disebut 'Ahdu insha' dan takwin.
Periode Nabi dibagi menjadi dua periode, yakni periode Mekah dan Madinah. Periode Mekah berlangsung selama 13 tahun dan Madinah selama 10 tahun. Pada fase Makah fokusnya adalah pada penanaman aqidah, karena Aqidah adalah fondasi kehidupan.
Pada saat ini Nabi memulai dengan dakwahnya dengan mengubah kepercayaan komunitas jahiliyyah di Mekah yang sebelumnya menyembah berhala menjadi komunitas yang bertauhid kepada Allah, membersihkan hati, dan menghias diri mereka dengan akhlaq baik.
Periode Makah dimulai dengan penunjukan Nabi Muhammad (SAW) sebagai Rasul sampai ia beremigrasi ke Madinah dalam waktu kurang dari 12 tahun. Madinah adalah tanah air bagi umat Islam. Umat Islam berlipat ganda jumlahnya dan membentuk masyarakat Muslim yang menghadapi masalah baru yang membutuhkan regulasi, baik hubungan antara individu Muslim dan dalam hubungan dengan kelompok lain di komunitas Madinah, seperti kelompok Yahudi dan Kristen.
Karena itu, Madinah diharuskan ada hukum yang mencakup seluruh bidang fiqih. Sumber hukum pada zaman Nabi adalah:
Al-Qur'an
Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi tidak sekaligus. Al-Qur'an turun sesuai dengan peristiwa-peristiwa tertentu dan menjelaskan hukum-hukumnya. Di antara wahyu yang turun adalah ayat-ayat hukum yang mencakup masalah seputar ibadah, mu'amalah, hukum ahwalus syakhsiyyah, dan sebagainya.
As-Sunnah
As-Sunnah berfungsi untuk menjelaskan hukum yang telah ditegaskan dalam Al Quran. Seperti sholat yang dijelaskan dalam tata cara sunnahnya. Selain itu, Sunnah juga merupakan penguat untuk hukum yang telah ditetapkan dalam Al Quran.
Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam tindakannya, dalam keputusannya ketika menyelesaikan suatu kasus, atau karena itu menjawab pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya.
Ijtihad
Selama masa Nabi, ternyata ijtihad telah dilakukan oleh Nabi dan shabatnya. Meskipun, ijtihad selama masa Rasul tidak seluas setelah beliau wafat, karena, banyak masalah yang diminta kepada Nabi dan segera dijawab dan diselesaikan oleh Nabi sendiri.
Selain itu, ijtihad sabahatpun jika salah, maka Nabi mengembalikannya pada hal yang benar. Rasulullah SAW mendorong sahabatnya untuk beremigrasijtiha. Hal ini terbukti dengan cara Nabi yang sering bermusyawarah dengan teman-temansahabatnya dan juga pada saat pengiriman Mu'adz bin Jabal yang dikirim ke Yaman.
Periode Al-Khulafaur Rashidin
Periode ini dimulai dari 11 Hijriyah dan berakhir pada abad pertama Hijriah. Dinamakan masa sahabat karena tasyri 'ahkam dipegang oleh seorang sahabat Nabi. Sumber hukum dalam periode ini adalah Al Quran, Sunnah, dan Ijtihad para Sahabat.
Selama periode ini para sahabat berusaha untuk mengumpulkan Al Quran dalam satu Manuskrip. Ide ini datang dari Abu Bakar karena banyak huffadz yang mati syahid di medan perang dalam memerangi para murtad.
Abu Bakar menyuruh Zaid untuk mengumpulkan Al Quran yang masih berserakan di pelepah kurma, di tulang, juga tertulis di atas batu agar menjadi koleksi Al Quran.
Setelah Abu Bakar wafat, Qur'an dijaga oleh khalifah sesudahnya, yaitu Umar bin Khattab. Dan setelah Umar bin Khattab wafat, Mushaf dijaga oleh Ummul Mukminin Hafshah, binti Umar. Pada zaman Utsman bin Affan, penerus ketiga bagi Umar bin Khattab, naskah-naskah itu direproduksi dan didistribusikan ke wilayah-wilayah Islam yang ditaklukkan, dan sampai saat ini kita berada.
Al Quran ditempatkan di masjid umum sehingga umat Islam bisa menghafalnya. Dan manuskrip ini diberi nama Mushaf Utsmani. Sumber hukum kedua dalam periode ini adalah As-Sunnah. Namun, hadits belum dikumpulkan dalam satu Manuskrip. Akibatnya, perbedaan pendapat muncul karena ada perbedaan dalam menghadapi hadits.
Yang ketiga adalah ijtihad sahabat. Adapun cara jihad para sahabat adalah pencarian teks-teks dalam Al Quran, jika tidak ada maka dengan Sunnah, dan jika mereka masih tidak menemukannya, mereka terlibat dalam musyawarah di antara para sahabat.
Khalifah Umar bin Khattab memiliki dua metode musyawarah, yaitu musyawarah bersifat umum dan spesifik. Diskusi khusus terdiri dari sahabat Muhajirin dan Ansar tentang masalah-masalah pemerintah. Sementara masalah umum dihadiri oleh semua warga Madinah yaitu jika ada masalah penting.
Selain itu, periode ini dimulai dengan metode mengambil hukum dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, ketentuan hukum yang tidak memiliki ketentuan dalam dua sumber utama, yang kemudian berkembang menjadi, ijma ', qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab, 'urf, dan sebagainya.
Periode Awal Pertumbuhan Fiqh
Periode ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 hingga awal abad ke-2. Periode ini adalah titik awal untuk pertumbuhan fiqh sebagai disiplin ilmu dalam Islam. Dengan berhamburannya para sahabat ke berbagai daerah sejak zaman Al-Khulafaur Rashidin (terutama sejak Uthman Bin Affan menduduki posisi Khalifah, 33 H / 644 M), maka muncul berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Di Irak, Ibn Mas'ud muncul sebagai ahli hukum yang menjawab berbagai masalah hukum. Dalam hal ini, sistem sosial masyarakat Irak sangat berbeda dari sistem Hijaz (Mekah dan Madinah). Pada saat itu, telah terjadi pembaruan etnis Arab di Irak dengan Persia, sementara orang-orang di Hijaz lebih homogen.
Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibn Mas'ud mengikuti pola yang diadopsi oleh Ummar bin Al-Khattab, yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat tanpa terlalu terikat pada makna literal dari teks-teks suci.
Atas dasar ini, penggunaan akal (analisis) dalam jijtihad lebih dominan daripada perkembangan ini muncul aliran madrasah atau ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi).
Sementara itu, di Madinah, Zaid bin Sabit (11 SH / 611 M-45 H / 665 M) dan Abdullah bin umar bin Al-Khattab (ibn Umar) bertindak untuk menjawab masalah hukum yang muncul di daerah tersebut. Sementara di Mekah, yang bertindak untuk menjawab berbagai masalah hukum adalah Abdullah bin Abbas (ibn abbas) dan sahabat lainnya.
Pola dalam menjawab masalah hukum oleh fuqaha Medina dan Mekah adalah sama, yaitu berpegang teguh pada Al Quran dan Hadits Nabi SAW. Ini dimungkinkan karena di kedua kota ini wahyu Allah dan sunnah Rasulullah SAW turun, sehingga sahabat yang berada di kedua kota itu memiliki banyak hadits.
Akibatnya, mazhab fiqih terbentuk mengikuti nama-nama thabi'in, termasuk fiqh Al-auza'I, fiqh An-Nakha'I, fiqh Al-qamah bin Qais, dan fiqh Sufyan As-Sauri.
Periode emas
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 hingga pertengahan abad ke-4 H. Pada periode peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode pertama kemajuan Islam (700-1000). Ciri khas periode ini adalah semangat tinggi ijtihad di kalangan ulama, sehingga berbagai gagasan tentang sains dengan perkembangan ini tidak hanya di bidang ibi tapi pada bidang lainnya.
Dinasti abbasiyah (132 H / 750 M-656 H / 1258 M) yang naik ke tahap pemerintahan menggantikan dinasti Umayyah memiliki tradisi ilmiah yang kuat, sehingga perhatian para penguasa abbasiyah di berbagai bidang ilmu sangat besar.
Penguasa awal dinasti abbasiyah sangat mendorong para ahli hukum untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh untuk menangani masalah sosial yang semakin kompleks. Perhatian pihak berwenang abbasiyah pada fiqh, misalnya, dapat dilihat ketika khalifah Harun ar-Rashid (berkuasa 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar dua anaknya, Al-Amin dan Al-Ma'mmun.
Selain itu, Khalifah Harun Ar-Rashid meminta Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, pemerintahan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah dengan menyusun buku berjudul Al-Kharaj.
Ketika Abu Jabar Al-Mansyur (memerintah 754-775) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis buku hukum yang akan menjadi pegangan resmi pemerintah dan lembaga-lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul Al-Muwaththa '(yang disepakati).
Di awal periode emas ini konflik antara ahlulhadist dan ahlurra'yi sangat tajam, sehingga memunculkan semangat ijtihad untuk setiap sekte. Semangat para ahli hukum melakukan ijtihad pada periode ini juga mendahului munculnya mazhab fiqh yaitu sekolah Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.
Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk kebutuhan praktis periode itu, tetapi juga membahas masalah yang mungkin terjadi yang dikenal sebagai fiqh taqdiri (hipotesis fiqh). Kontradiksi antara kedua sekte ini hanya mereda setelah para siswa ahlurra'yi mencoba membatasi, mensistematisasikan, dan menyusun aturan ra'yu yang dapat digunakan untuk menahan hukum.
Atas dasar upaya ini, ahlulhadist dapat memahami makna ra'yi, dan pada saat yang sama menerima ra'yu sebagai salah satu cara untuk mengistimbat hukum.
Periode Tahrir, Takhrij dan Tarjih
Dimulai dari pertengahan abad ke-4 hingga pertengahan abad ke-7 H. Tahrir, Takhrij, dan Tarjih adalah upaya masing-masing mazhab untuk mengomentari, menjelaskan, dan mengulas pendapat para imam mazhab.
Pada periode ini hampir tidak ada mujtahid independen, jadi fanatik buta mulai muncul. Ada juga pernyataan bahwa pintu ijtihad sudah ditutup karena:
- Dorongan pihak berwenang untuk memerintah hanya menggunakan mazhab yang dipakai pemerintah.
- Fanatisme buta, pikiran beku, dan taqlid tanpa analisis.
- Gerakan pembukuan dari setiap mazhab sehingga memudahkan untuk memilih mazhab yang mendorong taqlid.
Periode Penurunan Fiqh
Dimulai pada pertengahan abad ke-7 H hingga munculnya Al-Ahkam al 'Addliyyah (hukum sipil kekaisaran Turki Ottoman) pada 26 Syaban 1293 H. Ada tiga hal yang menonjol pada periode ini.
- Banyak pembukuan fatwa. Buku-buku yang disusun disusun secara sistematis sesuai dengan buku fiqh.
- Produk - produk fikih yang diatur kerajaan.
- Gerakan kodifikasi fiqh Islam muncul sebagai mazhab resmi pemerintah.
Sumber :
Tag :
sejarah fiqih