Fiqih Siyasah


Istilah Fiqih Siyasah adalah kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan siayasah. Secara etimologis, fiqih adalah suatu bentuk mashdar dari teks kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan kata-kata dan atau tindakan tertentu.

Sedangkan secara terminologis, fiqih lebih populer didefinisikan sebagai pengetahuan hukum syariah yang bersifat perbuatan dan bisa dipahami dari dalil rinci.

Sementara mengenai asal kata siyasah ada beberapa pendapat. Menurut Al-Maqrizy, siyasa berasal dari bahasa Mongolia, yaitu dari kata yasah yang ditempelkan huruf sin di awal sehingga dibaca siyasa.

Pendapat ini didasarkan pada kitab hukum yang dimiliki oleh Jengish Khan berjudul ilyasa yang berisi pedoman manajemen negara dengan berbagai bentuk hukuman berat untuk pelanggaran pidana tertentu.

Menurut Ibn Taghri Birdi, siyasa berasal dari campuran tiga bahasa, yaitu Persia, Turki dan Mongolia. Sedangkan menurut Ibn Manzhur, menyatakan bahwa siyasa berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk mashdar dari kata sasa-yasusu-siyasatun, yang maknanya mengatur, memelihara, atau melatih hewan, terutama kuda. 

Sementara itu secara terminologis, banyak definisi siyasa yang dimunculkan oleh para ahli hukum Islam. Menurut Abu al-Wafa Ibn Aqil, siyasa adalah tindakan yang dapat membawa orang lebih dekat pada manfaat dan lebih jauh dari kerusakan, meskipun Nabi tidak menetapkannya dan Allah tidak mengirim wahyu untuk mengaturnya.

Sementara, Husain Fauzy al-Najjar mendefinisikan siyasa sebagai mengelola kepentingan dan mempertahankan manfaat rakyat dan membuat kebijakan (yang sesuai) untuk memastikan terciptanya kebaikan bagi mereka.

Dan definisi Ibn Manzhur adalah definisi yang paling ringkas yakni "mengatur segala sesuatu dengan cara yang mengarah pada manfaat."

Cakupan Fiqih Siyasah
Para ulama berbeda dalam menentukan ruang lingkup studi fiqih siyasah. Di antara mereka ada yang menyebutkan lima bidang. Tetapi ada juga yang membahas empat atau tiga bidang diskusi. Bahkan ada beberapa ulama yang membagi ruang lingkup studi fiqih siyasah menjadi delapan bidang.

Menurul Mawardi, ruang lingkup studi fiqh siyasah meliputi:
- Kebijakan pemerintah tentang peraturan perundang-undangan (siyasah dusturiyah).
- Ekonomi dan militer (siyasah Maliyah)
- Peradilan (siyasah qadha'iyah)
- Hukum perang (siyasah harbiah).
- Administrasi negara (siyasah idariyah)

Sedangkan ibn Taimiyah merangkumnya menjadi empat bidang studi, yaitu:
- Keadilan.
- Administrasi Negara.
- Keuangan
- Hubungan internasional

Abdul Wahhab Khallaf mempersempitnya menjadi hanya tiga bidang studi, yaitu:
- Keadilan.
- Hubungan Internasional
- Keuangan negara

Berbeda dengan tiga pemikiran di atas, T.M. Hasbi sebaliknya membagi ruang lingkup fiqih siyasah  menjadi delapan bidang yaitu:
- Politik membuat undang-undang.
- Politik hukum.
- Politik peradilan.
- Politik moneter / ekonomi.
- Politik administrasi.
- Politik hubungan internasional.
- Politik penerapan undang-undang.
- Politik perang.

Berdasarkan perbedaan pendapat di atas, pembagian fiqih siyasah dapat disederhanakan menjadi tiga bagian utama.

  • politik perundang-undangan (al-siyasah al-dusturiyah) yang mencakup studi tentang penentuan hukum (tasyri'iyah) oleh badan legislatif, peradilan (qadha'iyah) oleh yudikatif, dan administrasi pemerintahan (idariyah) oleh birokrasi atau eksekutif.
  • Kebijakan luar negeri (al-siyasah al-kharijiah) yang mencakup hubungan sipil antara warga negara Muslim dan warga non-Muslim (al-siyasah al-duali al-‘am) atau juga disebut hubungan internasional.
  • Politik keuangan dan moneter (al-siyasah al-maliyah) yang mencakup negara, perdagangan internasional, kepentingan / hak publik, perpajakan dan perbankan.


Sejarah Fiqih Siyasah
Pada dasarnya, fiqih siyasah ini berasal dari Al Quran, hadits, rasio dan praktik kenegaran yang terjadi pada masa nabi, khulafaurrasyidun, bani umayah dan abbasiah. Pembukuan dan perumusan sistematis siyasah syar'iyyah baru dilakukan ada saat khalifah al-Mu 'tashim pada 218-228 H dengan munculnya buku Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik ( Perilaku Raja dalam peraturan Kerajaan) oleh Ibn Abu Rabi '(227 H/842 M).

Hal ini terus berlanjut dengan munculnya buku-buku baru pada abad ke-18 dan 19, seperti karya Al Mawardi dengan bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyyah atas permintaan khalifah al-Qadir dan juga karya Ibn Taymiyyah, Al-Siyasah al-Syari'ah fi Ishlah al-Ra'iyyah.

Yang ada dalam literatur fiqih siyasa klasik adalah tarikhul muluk wa salatin atau sejarah raja dan sultan, di mana para ulama kemudian seperti Imam al-Mawardi mengumpulkan fragmen-fragmen sejarah dan instruksi umum Nash ke dalam doktrin fiqih siyasah.

Misal, meskipun dalam teori fiqih siyasah klasik, khalifah dapat dibai'at oleh 5 orang, pada kenyataannya sangat sulit untuk menjadi seorang khalifah pada saat ini, dalam arti menjadi pemimpin seluruh negara Islam.

Beban ekonomi yang harus ditanggung begitu besar. Belum lagi beragamnya madzhab, minat, organisasi, partai di dalam tubuh umat Islam yang menghalangi semuanya. Jadi, sebelum kita buru-buru menyalahkan politik Barat yang konon ingin menghancurkan Islam, kita introspeksi
sendirian kondisi rakyat kita sendiri.

Bagaimana dengan kondisi komunitas pasca-Khilafah? Yang ada sekarang adalah negara-negara Islam yang didasarkan pada nasionalisme Islam (Qaumiyah Islamiyah), yang merupakan negara nasional di mana Islam dijadikan agama resmi.

Arab Saudi, Mesir, dan Pakistan, misalnya, adalah negara-negara nasional yang menjadikan Islam agama resmi mereka. Fakta ini yakni keberadaan beberapa negara Islam nasional, ad-Duwal al-Islamiyah al-Qaumiyah, membawa kita ke dinamika dinamis Fiqih Siyasah.

Di sini ada ketidakseimbangan antara literatur fiqih siyasah klasik dan perkembangan negara modern di dunia Islam. Sastra klasik masih berbicara tentang hal-hal seperti darul Islam, darul harbi, kafir dzimmi, kafir harbi, ba'iat, dan sebagainya.

Padahal konsep khilafah telah berubah menjadi negara-bangsa, kategori kafir dzimmi telah berubah manjadi konsep kewarganegaraan, dan konsep ba'iat telah diperluas dalam sistem pemilihan umum yang bervariasi dari satu negara ke negara lain.

Ini adalah potret situasi masyarakat saat ini. Adalah pantas untuk teks literatur fiqih siyasah diperbarui dan diperbarui sesuai dengan zaman sehingga kita tidak bingung menjawab berbagai masalah keadaan saat ini dengan merujuk pada literatur klasik yang dipengaruhi oleh tempo situasi masa lalu.

Mari kita ambil literatur lama yang masih relevan dengan kondisi saat ini dan menulis literatur baru yang lebih sesuai dengan kondisi politik umat saat ini. Maka kita akan lebih menjawab secara dinamis masalah-masalah seperti persyaratan kepemimpinan, metode pemilihan umum, otoritas pemerintah, dan seterusnya tidak hanya mengacu pada literatur fiqih siyasa klasik tetapi juga ke literatur modern tentang Konstitusi dan Sistem Pemerintahan.

Oleh karenannya, sejalan dengan zaman dan sains, pada abad ke-20 ini muncul istilah-istilah ilmiah baru, yaitu 'ilm al-siyasah al-syai'ah, al-fikr al siyasi al islami (pemikiran politik Islam) dll. Karena politik lebih erat hubungannya untuk kegiatan mukallaf (af'alil-mukallifin), al-fiqh al-siyasi (fiqih politik), al fiqh al-dusturi (hukum konstitusi), atau fiqh al-dawlah (hukum ketatanegaraan).

Semoga tulisan tentang fiqih siyasah ini bermanfaat buat Anda. Beberapa hal yang insya Allah akan kita kaji selanjutnya adalah tentang :
- kitab fiqih siyasah
- macam macam fiqih siyasah
- metode fiqh siyasah
- makalah konsep fiqih siyasah
- download pdf fiqih siyasah
- soal uas fiqih siyasah
- buku fiqh siyasah
- asas asas fiqh siyasah

Sumber :
https://islami.co/fiqih-siyasah-yang-sangat-dinamis/



Back To Top