Kaidah Fiqih Muamalah


Prinsip dasar atau kaidah fiqih muamalah, mulai dari aturan dasar dan cabang, aturan umum dan aturan khusus yang kemudian disusun oleh para sarjana Turki di Kekaisaran Ottoman, tidak kurang dari 99 aturan yang terkandung dalam majalah al-ahkam al-adliyah.

Sembilan puluh sembilan aturan adalah referensi dan menjadi jiwa dari 1851 artikel tentang transaksi yang tercantum dalam majalah al-ahkam al-adliyah. Berikut ini akan disajikan beberapa aturan fiqh khusus di bidang muamalah. Di antara aturan khusus di bidang muamalah adalah:

 الأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ  دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا

“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”

Tujuan dari peraturan ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya diperbolehkan, seperti membeli dan menjual, menyewa, menggadaikan, kerja sama (mudharabah atau musyarakah), perwakilan dan lainnya, kecuali yang secara tegas dilarang seperti menyebabkan kerugian, penipuan, judi dan riba.

 الأَصْلُ فِي العَقْدِ رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ

“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan, kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”

Keridhoan dalam melakukan transaksi adalah prinsip. Karena itu, transaksi hanya berlaku jika didasarkan pada keridhoan kedua belah pihak. Ini berarti bahwa suatu kontrak tidak sah jika suatu pihak dipaksa atau juga merasa dicurangi.

Hal itu bisa terjadi ketika kontrak telah dipertukarkan satu sama lain, tetapi kemudian satu pihak merasa tertipu, artinya akan hilang, maka kontrak dapat dibatalkan. Contohnya termasuk pembeli yang merasa ditipu karena mereka dirugikan oleh penjual karena ada barang yang cacat.

 لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ

“Tidak seorang pun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta”.

Atas dasar aturan ini, penjual harus menjadi pemilik barang yang dijual atau perwakilan dari pemilik barang atau yang diberikan surat wasiat atau perwakilan. Tidak ada hak orang lain atas barang yang dijual.

   البَاطِلُ لاَيَقْبَلُ الإجَازَةَ

“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”

Perjanjian yang dibatalkan dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, kontrak yang dibatalkan tetap tidak valid meskipun diterima oleh satu pihak.

Misalnya, Bank Syariah tidak boleh mengadakan kontrak dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga diizinkan oleh pihak lain, karena sistem bunga telah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional.

Kontrak baru berlaku jika lembaga keuangan lainnya ingin menggunakan kontrak yang diterapkan pada perbankan syariah, yang merupakan kontrak atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.

 الإِجَازَةُ اللاَحِقَةِ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ

“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu”.

Sebagaimana dinyatakan aturan no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak secara hukum terhadap milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.

Namun, berdasarkan aturan ini, jika seseorang bertindak secara hukum pada properti orang lain, dan kemudian pemilik properti memperbolehkannya, maka tindakan hukum tersebut menjadi sah, dan orang tersebut dianggap sebagai perwakilan pemilik properti tersebut.

 الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لاَ يَجْتَمِعَانِ

Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”

Yang disebut dhanan atau kompensasi dalam aturan ini adalah untuk mengganti dengan item yang sama. Jika barang tersebut ada di pasaran atau membayar harga barang tersebut jika barang tersebut tidak ada di pasaran.

Misalnya, seseorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang berat yang menyebabkan kendaraan rusak parah. Jadi, penyewa harus mengganti kerusakan dan tidak harus membayar sewa.

الخَرَاجُ بِالضَّمَانُ

Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian”

Makna asal usul al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon memberi buah atau hewan mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah kompensasi.

Misalnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembeli dengan alasan cacat. Penjual tidak boleh mengenakan biaya karena telah menggunakan hewan sebelumnya. Sebab, penggunaan hewan sudah menjadi hak pembeli.

الغَرْمُ بِالغَنْمِ

“Risiko itu menyertai manfaat”

Intinya adalah bahwa seseorang yang menggunakan sesuatu harus menanggung risiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridoan dari penjual untuk ditanggung bersama.

Begitu juga dengan seseorang yang meminjam barang, maka ia berkewajiban mengembalikan barang dan menanggung risiko biaya pemulangan. Berbeda dengan biaya mengangkut dan merawat barang, itu dibebankan kepada pemilik barang.

إذَا بَطَلَ الشَّيْءُ بَطَلَ مَا فِي ضَمْنِهِ

“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”

Misalnya, penjual dan pembeli telah menandatangani perjanjian jual beli. Pembeli telah menerima barang dan penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan penjualan dan pembelian sebelumnya.

Maka, kasus pembeli barang menjadi batal dan hak penjual atas harga barang menjadi batal. Artinya, pembeli harus mengembalikan barang dan penjual harus mengembalikan harga barang.

 العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا

“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut”

Objek suatu kontrak dapat berupa barang-barang tertentu, seperti membeli dan menjual, dan juga dapat dalam bentuk manfaat dari suatu barang seperti sewa. Bahkan sekarang, objeknya bisa dalam bentuk layanan seperti layanan broker.

Maka, efek hukum dari kontrak yang objeknya adalah objek atau manfaat barang adalah sama, dalam arti rukun dan persyaratan yang sama.

 كُلُّ مَايَصِحُّ تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ تَوْقِيْتُه

“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara”

Kontrak Mu'awadhah adalah kontrak yang dibuat oleh dua pihak, yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban, seperti membeli dan menjual. Satu pihak (penjual) berkewajiban untuk mengirimkan barang dan berhak atas harga barang.

Di sisi lain, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan harga barang dan berhak atas barang yang dibeli. Dalam kontrak semacam ini, tidak valid jika dibatasi waktu, karena perjanjian jual beli tidak dibatasi waktu. Jika waktunya terbatas, maka bukanlah membeli dan menjual tetapi menyewa.

Kaidah Fiqih Muamalah


 الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ

“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalh batal”

Tujuan dari aturan ini adalah bahwa jika seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dia lakukan sebagai miliknya, maka hukum itu batal demi hukum.

Misalnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan bawahannya untuk menjual barang-barang yang dipercayakan kepadanya, sehingga pesanan itu batal demi hukum. Aturan ini juga bisa dimasukkan dalam aturan fiqih siyasa, jika dilihat dari sisi wewenang untuk memerintah dari atasan ke bawahan.

 لاَيَتِمُّ التَّبرُّعث إِلاَّ بِالقَبْضِ

“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dnegan penyerahan barang”

Kontrak Tabarru 'adalah kontrak yang dilakukan demi kebaikan hanya sebagai hadiah atau hibah. Hibah tidak mengikat sampai pengiriman barang dilakukan.

الجَوَازُ الشَّرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ 

“Suatu hal yang dibolehkan oleh  syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”

Tujuan dari aturan ini adalah sesuatu yang diizinkan oleh syariah untuk melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dibuat klaim untuk kompensasi.

Misalnya, Si A menggali sumur di tempatnya sendiri. Kemudian ayam tetangganya jatuh ke dalam sumur dan mati. Maka, tetangga tidak bisa mengklaim kompensasi dari A, karena menggali sumur di tempatnya sendiri diizinkan oleh syariah.

لاَيُنْزَعُ شَيْءٌمِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ

“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap.”
   
كُلُّ قَبُولٍ جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ

“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”

Berdasarkan aturan ini, itu berlaku dalam setiap penjualan dan pembelian, sewa, dan kontrak lainnya. Perjanjian untuk menyebutkan qabiltu (saya terima) dengan tidak mengulangi rincian persetujuan. Rincian persetujuan, seperti menjual barang ini dengan harga yang dibayar tunai, cukup dijawab oleh "Saya menerima".

كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ

“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan.”

Misalnya, dalam gadai emas, maka ada persyaratan bahwa jika barang yang digadai tidak ditebus dalam beberapa bulan, penerima gadai memiliki hak untuk menjualnya. Atau syarat boleh memilih yang dicatat dalam notaris.

كُلُّ مَاصَحَّ الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ

“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
مَاجَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ

“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”

Tentu saja ada pengecualian, seperti manfaat barang dapat disewa tetapi tidak dapat digadaikan karena tidak dapat diserahterimakan.

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adalah sama dengan riba.”

لاَ تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ اللهِ , وَلاَ تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ اللهِ

“Tidak boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari’atkan oleh Allah, dan tidak dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh Allah”

الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ

“Asal dalam muamalah adalah halal”

الأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ

“Asal dalam syarat-syarat yang ditetapkan dalam muamalah adalah halal”.

الأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

“Asal dalam syarat-syarat yang ditetapkan dalam muamalah adalah halal dan mubah kecuali ada dalil yang mengharamkanya.”

الأَصْلُ هُوَ الْعَدْلُ فِيْ كُلِّ الْمُعَامَلاَتِ وَ مَنْعُ الظُّلْمِ وَمُرَاعَاةُ مَصْلَحَةِ الطَّرَفَيْنِ وَرَفْعُ الضَّرَرِ عَنْهُمَا

“Asal setiap muamalah adalah adil dan larangan berbuat zalim serta memperhatikan kemaslahatan kedua belah pihak dan menghilangkan kemudharatan”

Sumber :
http://trainingictsusilawati.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqih-muamalah.html
https://muhammadnorabdi.wordpress.com/2011/08/13/kaidah-fiqih-dalam-muamalah/




============================

BUKU FIQIH TERLARIS

Mabadi Fiqih
Fiqih Muyassar
Rezeki Deras dengan Sholat Dhuha
Keajaiban Puasa Senin Kamis
Fiqih Lengkap Madzhab Syafi'i
==========================
Back To Top