Ada warganet yang bertanya, al faqih merupakan sebutan untuk ulama apa ? Apa bedanya dengan istilah lain seperti qadi, syaikh, mufti, fuqaha dan lainnya. Simak penjelasannya di bawah ini.
Menurut Wikipedia, faqih itu artinya orang yang ahli fiqih. Sementara fuqaha adalah jamak dari al faqih tadi. Namun pada zaman dahulu, al faqih itu tidak sebatas orang yang ahli fiqih saja, melainkan mereka yang mengerti akan hukum atau syariat Islam, maka dinamakan Al Faqih, mengingat dahulu belum dikenal adanya ilmu fiqih.
Dalam Yufidia dikatakan bahwa fuqaha itu punya 7 tingkatan, yakni :
Mujtahid mustaqil
Merupakan tingkatan fuqaha tertinggi. Seorang mujtahid mustaqil memiliki kemampuan untuk menentukan aturan-aturan fiqh berdasarkan kesimpulan dari perenungan dalil Al-Qur'an dan Sunnah. Aturan-aturan ini digunakan sebagai dasar dalam membangun pendapat mereka. Di antara para ulama yang telah mencapai tingkat mujtahid mustaqil adalah para imam madzhab yang empat yakni :
- Imam Maliki
- Imam Hanafi
- Imam Syafi'i
- Imam Hambali
Mujtahid mutlaq
Mereka adalah orang-orang yang telah memenuhi persyaratan untuk menjadi mujtahid mutasqil, tetapi mereka belum menetapkan kaidah mereka sendiri, melainkan hanya mengikuti metode dari imam madzhab.
Mereka memiliki kemampuan untuk menentukan hukum dari beberapa dalil sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh imam madzhab. Mereka mungkin tidak setuju pada sejumlah masalah terperinci di bidang fiqih, tetapi pada prinsipnya, mereka mengikuti imam madzhab tersebut.
Contoh mereka yang termasuk mujtahid mutlaq adalah murid-murid dari para imam itu sendiri seperti :
- Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (murid senior Imam Abu Hanifah)
- Ibnul Qasim, Al-Asyhab, dan Ibnul Majisyun (mujtahid di Madzhab Maliki. )
- Al-Muzanni dan Yusuf bin Yahya Al-BuwaithiS (mujtahid mutlaq dari Madzhab Syafii)
- mam Abu Bakar Al-Atsram dan Al-Marudzi (mujtahid mutlaq dari SekolahMadzhab Hambali)
Mujatahid muqayyad
Mereka adalah sekelompok cendekiawan mujtahid yang memiliki kemampuan untuk mengkonfirmasi pernyataan yang disampaikan oleh Imam mazhab untuk memecahkan masalah baru yang tidak terkandung dalam pernyataan mazhab ulama.
Opini hasil ulama ijtihad pada level ini disebut "al-wajh". Kadang-kadang, di satu madzhab, para ulama di smadzhab itu berbeda pendapat, sehingga sering ditemukan dalam penjelasan dalam buku-buku fiqh, pada masalah tertentu ada begitu banyak wajah.
Artinya, dalam masalah itu ada banyak sekali pendapat di madzhab tersebut. Di antara para ulama yang berada di tingkat ini adalah :
- Imam Ath-Thahawi, Al-Kurkhi, dan As-Sarkhasi (Madzhab Hanafi)
- Al-Abhari dan Ibn Abi Zaid Al-Qairuwani (Madzhab Maliki)
- Abu Ishaq Ash-Shirazi, Ibn Khuzaimah, dan Muhammad bin Jarir (Madzhab Syafi'i)
- Al-Qadhi Abu Ya'la dan Al-Qadhi Abu Ali bin Abu Musa rahimahumullah (Madzhab Hambali)
Mujtahid takhrij
Mereka adalah barisan cendekiawan yang mentakhrij beberapa pendapat di dalam madzhab. Kemampuan mereka untuk menguasai prinsip dan pengetahuan mereka dalam memahami fondasi madzhab telah menjadi bekal bagi mereka untuk memperkuat satu pendapat. Di antara para ulama yang termasuk dalam level ini adalah Imam Ar-Razi dan Al-Jashas.
Mujtahid tarjih
Mereka adalah kelompok mujtahid yang memiliki kemampuan untuk memilih pendapat yang lebih benar dan lebih kuat, ketika ada perbedaan pendapat, baik perbedaan antara imam madzhab atau perbedaan antara imam dan murid-muridnya dalam satu madzhab.
antara para ulama yang mencapai tingkat ini adalah :
- Imam Al-Marghinani dan Abul Hasan Al-Qaduri (Madzhab Hanafi)
- Imam Khalil bin Ishaq Al-Jundi (Madzhab Maliki)
- Ar-Rafii dan An-Nawawi dari Sekolah (Madzhab Syafi'i)
- Imam Al-Mardawi (Madzhab Hambali)
Mujtahid fatwa
Mereka adalah cendekiawan yang memahami pendapat madzhab, dan menguasai semua penjelasan dan masalah di dalam madzhab, sehingga mereka dapat menentukan pendapat mana yang paling kuat, agak kuat, dan lemah.
Namun, mereka tidak memiliki keahlian dalam menentukan fondasi pemikiran madzhab. Di antara para ulama yang menempati gelar ini adalah para penulis buku matan fiqih, seperti :
- Imam An-Nasafi (penulis buku Kanzu Ad-Daqaiq, Madzhab Hanafi)
- Imam Al-Hasfaki (penulis buku Ad-Durrul Mukhtar, Madzhab Hanafi)
- Syeikh Zadah (penulis buku Majma 'Al-Anhar, Madzhab Hanafi)
- Imam Ar-Ramli dan Al-Hafizh Ibn Hajar (Madzhab Syafi'i)
Muqallid
Mereka adalah orang-orang yang tidak dapat membedakan antara pendapat yang kuat dan yang lemah. Ini adalah tingkatan umum masyarakat.
Adapun kata ulama pun sebetulnya baru populer setelah kekuasaan Ottoman, karena pada masa sebelumnya baru dikenal dengan sebutan mufassir (ahli tafsir), muhaddist (ahli hadis), faqih (ahli hukum Islam), mufti (pejabat pemberi fatwa), dan lain-lain sesuai dengan bidang keahliannya. Demikian seperti yang dijelaskan oleh Abdillah Toha.
Sumanto Al Qurtubi menambahkan, pada masa awal perkembangan Islam, "ulama" adalah "istilah umum" bagi para ilmuwan, baik ilmuwan dalam ilmu sekuler maupun dalam ilmu agama Islam. Kata ini bukan "gelar akademik" yang dicapai melalui pendidikan tertentu sebab di masa lalu, umat Islam belum memiliki universitas.
Kualifikasi seorang ulama adalah kedalaman penguasaan atas sains, tidak hanya mampu membaca Al Quran dan bisa ceramah, sebab yang suka ceramah itu namanya "dai" atau "mubaligh". Di masa lalu, ulama juga tidak ada hubungannya dengan ketentuan fatwa. Ulama itu hanya berhubungan dengan ilmu/sains sebagaimana ilmuwan saat ini.
Dalam referensi Syariah Islam Online lainnya dikatakan bahwa kata "al faqih" disematkan bagi orang-orang yang mempelajari ilmu khusus untuk mengetahui hukum amaliyah syar'iyyah yang diambil dari sumber-sumber syariah Islam. Sumber-sumber syari'at Islam terdiri dari Al-Qur'an, sunnah, ijma 'dan qiyas.
Dengan demikian, al faqih adalah orang yang bergulat dengan teks untuk memahaminya dan menarik kesimpulan dari hukum syariah, apakah termasuk dalam kategori wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.
Biasanya, al faqih di Mesir dipilih oleh lembaga keagamaan, seperti Universitas Al Azhar, Majma 'al Buhuts, Wizarah al Auqaf, Wizarah' Adl dan lainnya.
Sedangkan istilah "mufti" atau muftu dalam Bahasa Turki, maka sama sebagai mana arti "al faqih", tetapi ada salah satu syarat tambahan bagi seorang mufti, yakni harus mengetahui dan memahami kondisi di lingkungan sekitarnya.
Karena salah satu tujuan dari keberadaan mufti adalah untuk mempertahankan syari'ah maqashid, yaitu hifdzu nafsi (tubuh), aqli (alasan), din (agama), karamah insan (kemuliaan manusia) dan milkuhu (kepemilikan).
Seorang mufti di Mesir, dipilih langsung oleh Presiden dan dituntut untuk memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi dalam syari'at, memiliki kekuatan analitis yang tinggi terkait dengan keadaan, mampu memberikan fatwa, bersikap adil dan lain sebagainya.
Fatwa itu asalnya adalah pendapat tentang masalah sosial keagamaan, tidak memiliki "ikatan hukum" dan tidak mengikat publik. Jadi hanya sebuah opini. Tapi jika sebuah fatwa yang awalnya merupakan pendapat individu para ahli hukum itu kemudian diangkat menjadi sebuah keputusan hukum, maka fatwa itu dapat mengikat masyarakat Muslim.
Orang yang bertanggung jawab melegalkan fatwa tersebut disebut qadi atau hakim syariah. Karena qadi ini adalah pejabat kerajaan, maka tidak jarang keputusan hukum ini dibuat atas kehendak rezim penguasa politik.
Berbeda dengan ulama, qadi ini adalah posisi yang diberikan oleh khalifah, dan bersifat hierarkis. Qadi tingkat tertinggi disebut "qadi qudlat" atau Hakim Agung yang selalu bermitra dengan raja atau apa pun namanya.
Hakim Agung ini kemudian pada zaman dinasti Ottoman (Ottoman) pada abad ke-13/14 dihapus dan diganti dengan Syaikhul Islam. Rezim Ottoman juga melakukan perombakan besar terhadap struktur atau institusi ulama ini.
Adaun istilah "al imam" memiliki tiga makna yaitu :
- Orang yang memimpin sholat
- Pemimpin pemerintahan
- Orang yang berpengetahuan.
Tidak ada batasan minimum ketika seseorang bisa disebut al imam, tetapi istilah ini merujuk pada seberapa terkenal ulama tersebut di antara ulama lainnya.
Sementara itu ada juga istilah "syaikh" yang juga memiliki beberapa arti yakni :
- dari segi bahasa, berarti orang yang usianya 60 tahun atau lebih.
- pemimpin suatu bangsa, meskipun usianya masih relatif muda.
- di Mesir, kata ini juga digunakan untuk orang yang mempelajari syariah, meskipun mereka masih kecil. Contoh orang yang menghafal Al Qur'an. Karena menghafal Al Qur'an adalah salah satu ilmu syariah.
Menurut Wikipedia, faqih itu artinya orang yang ahli fiqih. Sementara fuqaha adalah jamak dari al faqih tadi. Namun pada zaman dahulu, al faqih itu tidak sebatas orang yang ahli fiqih saja, melainkan mereka yang mengerti akan hukum atau syariat Islam, maka dinamakan Al Faqih, mengingat dahulu belum dikenal adanya ilmu fiqih.
Dalam Yufidia dikatakan bahwa fuqaha itu punya 7 tingkatan, yakni :
Mujtahid mustaqil
Merupakan tingkatan fuqaha tertinggi. Seorang mujtahid mustaqil memiliki kemampuan untuk menentukan aturan-aturan fiqh berdasarkan kesimpulan dari perenungan dalil Al-Qur'an dan Sunnah. Aturan-aturan ini digunakan sebagai dasar dalam membangun pendapat mereka. Di antara para ulama yang telah mencapai tingkat mujtahid mustaqil adalah para imam madzhab yang empat yakni :
- Imam Maliki
- Imam Hanafi
- Imam Syafi'i
- Imam Hambali
Mujtahid mutlaq
Mereka adalah orang-orang yang telah memenuhi persyaratan untuk menjadi mujtahid mutasqil, tetapi mereka belum menetapkan kaidah mereka sendiri, melainkan hanya mengikuti metode dari imam madzhab.
Mereka memiliki kemampuan untuk menentukan hukum dari beberapa dalil sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh imam madzhab. Mereka mungkin tidak setuju pada sejumlah masalah terperinci di bidang fiqih, tetapi pada prinsipnya, mereka mengikuti imam madzhab tersebut.
Contoh mereka yang termasuk mujtahid mutlaq adalah murid-murid dari para imam itu sendiri seperti :
- Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (murid senior Imam Abu Hanifah)
- Ibnul Qasim, Al-Asyhab, dan Ibnul Majisyun (mujtahid di Madzhab Maliki. )
- Al-Muzanni dan Yusuf bin Yahya Al-BuwaithiS (mujtahid mutlaq dari Madzhab Syafii)
- mam Abu Bakar Al-Atsram dan Al-Marudzi (mujtahid mutlaq dari SekolahMadzhab Hambali)
Mujatahid muqayyad
Mereka adalah sekelompok cendekiawan mujtahid yang memiliki kemampuan untuk mengkonfirmasi pernyataan yang disampaikan oleh Imam mazhab untuk memecahkan masalah baru yang tidak terkandung dalam pernyataan mazhab ulama.
Opini hasil ulama ijtihad pada level ini disebut "al-wajh". Kadang-kadang, di satu madzhab, para ulama di smadzhab itu berbeda pendapat, sehingga sering ditemukan dalam penjelasan dalam buku-buku fiqh, pada masalah tertentu ada begitu banyak wajah.
Artinya, dalam masalah itu ada banyak sekali pendapat di madzhab tersebut. Di antara para ulama yang berada di tingkat ini adalah :
- Imam Ath-Thahawi, Al-Kurkhi, dan As-Sarkhasi (Madzhab Hanafi)
- Al-Abhari dan Ibn Abi Zaid Al-Qairuwani (Madzhab Maliki)
- Abu Ishaq Ash-Shirazi, Ibn Khuzaimah, dan Muhammad bin Jarir (Madzhab Syafi'i)
- Al-Qadhi Abu Ya'la dan Al-Qadhi Abu Ali bin Abu Musa rahimahumullah (Madzhab Hambali)
Mujtahid takhrij
Mereka adalah barisan cendekiawan yang mentakhrij beberapa pendapat di dalam madzhab. Kemampuan mereka untuk menguasai prinsip dan pengetahuan mereka dalam memahami fondasi madzhab telah menjadi bekal bagi mereka untuk memperkuat satu pendapat. Di antara para ulama yang termasuk dalam level ini adalah Imam Ar-Razi dan Al-Jashas.
Mujtahid tarjih
Mereka adalah kelompok mujtahid yang memiliki kemampuan untuk memilih pendapat yang lebih benar dan lebih kuat, ketika ada perbedaan pendapat, baik perbedaan antara imam madzhab atau perbedaan antara imam dan murid-muridnya dalam satu madzhab.
antara para ulama yang mencapai tingkat ini adalah :
- Imam Al-Marghinani dan Abul Hasan Al-Qaduri (Madzhab Hanafi)
- Imam Khalil bin Ishaq Al-Jundi (Madzhab Maliki)
- Ar-Rafii dan An-Nawawi dari Sekolah (Madzhab Syafi'i)
- Imam Al-Mardawi (Madzhab Hambali)
Mujtahid fatwa
Mereka adalah cendekiawan yang memahami pendapat madzhab, dan menguasai semua penjelasan dan masalah di dalam madzhab, sehingga mereka dapat menentukan pendapat mana yang paling kuat, agak kuat, dan lemah.
Namun, mereka tidak memiliki keahlian dalam menentukan fondasi pemikiran madzhab. Di antara para ulama yang menempati gelar ini adalah para penulis buku matan fiqih, seperti :
- Imam An-Nasafi (penulis buku Kanzu Ad-Daqaiq, Madzhab Hanafi)
- Imam Al-Hasfaki (penulis buku Ad-Durrul Mukhtar, Madzhab Hanafi)
- Syeikh Zadah (penulis buku Majma 'Al-Anhar, Madzhab Hanafi)
- Imam Ar-Ramli dan Al-Hafizh Ibn Hajar (Madzhab Syafi'i)
Muqallid
Mereka adalah orang-orang yang tidak dapat membedakan antara pendapat yang kuat dan yang lemah. Ini adalah tingkatan umum masyarakat.
Adapun kata ulama pun sebetulnya baru populer setelah kekuasaan Ottoman, karena pada masa sebelumnya baru dikenal dengan sebutan mufassir (ahli tafsir), muhaddist (ahli hadis), faqih (ahli hukum Islam), mufti (pejabat pemberi fatwa), dan lain-lain sesuai dengan bidang keahliannya. Demikian seperti yang dijelaskan oleh Abdillah Toha.
Sumanto Al Qurtubi menambahkan, pada masa awal perkembangan Islam, "ulama" adalah "istilah umum" bagi para ilmuwan, baik ilmuwan dalam ilmu sekuler maupun dalam ilmu agama Islam. Kata ini bukan "gelar akademik" yang dicapai melalui pendidikan tertentu sebab di masa lalu, umat Islam belum memiliki universitas.
Kualifikasi seorang ulama adalah kedalaman penguasaan atas sains, tidak hanya mampu membaca Al Quran dan bisa ceramah, sebab yang suka ceramah itu namanya "dai" atau "mubaligh". Di masa lalu, ulama juga tidak ada hubungannya dengan ketentuan fatwa. Ulama itu hanya berhubungan dengan ilmu/sains sebagaimana ilmuwan saat ini.
Dalam referensi Syariah Islam Online lainnya dikatakan bahwa kata "al faqih" disematkan bagi orang-orang yang mempelajari ilmu khusus untuk mengetahui hukum amaliyah syar'iyyah yang diambil dari sumber-sumber syariah Islam. Sumber-sumber syari'at Islam terdiri dari Al-Qur'an, sunnah, ijma 'dan qiyas.
Dengan demikian, al faqih adalah orang yang bergulat dengan teks untuk memahaminya dan menarik kesimpulan dari hukum syariah, apakah termasuk dalam kategori wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.
Biasanya, al faqih di Mesir dipilih oleh lembaga keagamaan, seperti Universitas Al Azhar, Majma 'al Buhuts, Wizarah al Auqaf, Wizarah' Adl dan lainnya.
Sedangkan istilah "mufti" atau muftu dalam Bahasa Turki, maka sama sebagai mana arti "al faqih", tetapi ada salah satu syarat tambahan bagi seorang mufti, yakni harus mengetahui dan memahami kondisi di lingkungan sekitarnya.
Karena salah satu tujuan dari keberadaan mufti adalah untuk mempertahankan syari'ah maqashid, yaitu hifdzu nafsi (tubuh), aqli (alasan), din (agama), karamah insan (kemuliaan manusia) dan milkuhu (kepemilikan).
Seorang mufti di Mesir, dipilih langsung oleh Presiden dan dituntut untuk memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi dalam syari'at, memiliki kekuatan analitis yang tinggi terkait dengan keadaan, mampu memberikan fatwa, bersikap adil dan lain sebagainya.
Fatwa itu asalnya adalah pendapat tentang masalah sosial keagamaan, tidak memiliki "ikatan hukum" dan tidak mengikat publik. Jadi hanya sebuah opini. Tapi jika sebuah fatwa yang awalnya merupakan pendapat individu para ahli hukum itu kemudian diangkat menjadi sebuah keputusan hukum, maka fatwa itu dapat mengikat masyarakat Muslim.
Orang yang bertanggung jawab melegalkan fatwa tersebut disebut qadi atau hakim syariah. Karena qadi ini adalah pejabat kerajaan, maka tidak jarang keputusan hukum ini dibuat atas kehendak rezim penguasa politik.
Berbeda dengan ulama, qadi ini adalah posisi yang diberikan oleh khalifah, dan bersifat hierarkis. Qadi tingkat tertinggi disebut "qadi qudlat" atau Hakim Agung yang selalu bermitra dengan raja atau apa pun namanya.
Hakim Agung ini kemudian pada zaman dinasti Ottoman (Ottoman) pada abad ke-13/14 dihapus dan diganti dengan Syaikhul Islam. Rezim Ottoman juga melakukan perombakan besar terhadap struktur atau institusi ulama ini.
Adaun istilah "al imam" memiliki tiga makna yaitu :
- Orang yang memimpin sholat
- Pemimpin pemerintahan
- Orang yang berpengetahuan.
Tidak ada batasan minimum ketika seseorang bisa disebut al imam, tetapi istilah ini merujuk pada seberapa terkenal ulama tersebut di antara ulama lainnya.
Sementara itu ada juga istilah "syaikh" yang juga memiliki beberapa arti yakni :
- dari segi bahasa, berarti orang yang usianya 60 tahun atau lebih.
- pemimpin suatu bangsa, meskipun usianya masih relatif muda.
- di Mesir, kata ini juga digunakan untuk orang yang mempelajari syariah, meskipun mereka masih kecil. Contoh orang yang menghafal Al Qur'an. Karena menghafal Al Qur'an adalah salah satu ilmu syariah.